Sebuah spanduk besar berwarna merah tertempel di dinding tembok pom
bensin di Pondok Indah, Jakarta. Isinya kira-kira seperti ini: “Terima
kasih kepada pengguna kendaraan dinas pemerintah, karena telah mengisi
bensin tanpa subsidi.”
Entah apa maksud spanduk ini. Untuk
memberitahu masyarakat (bahwa kendaraan dinas harus pakai Pertamax) atau
ada maksud lain? Sulit dipahami.
Spanduk merah di pom bensin
sepertinya muncul setelah adanya Peraturan Menteri ESDM No 12/2012
tentang pengendalian penggunaan bensin. Peraturan itu mengharuskan
kendaraan dinas, tak terkecuali milik perusahaan plat merah, untuk
menggunakan bensin tanpa subsidi.
Peraturan ini sudah berlaku di
wilayah Jakarta dan sekitarnya, dan pada 1 Agustus kelak akan diperluas
ke seluruh daerah di Jawa-Bali. Dengan keharusan seperti ini, pemerintah
seolah memberi contoh ke masyarakat untuk tidak lagi menggunakan bensin
bersubsidi.
Dalam hitung-hitungan pemerintah, bila kendaraan
dinas diharuskan memakai Pertamax, maka akan didapat penghematan sebesar
Rp 542 miliar. (Penghematan yang sebenarnya tak seberapa, dibandingkan
subsidi bensin per tahun yang melebihi Rp 100 triliun.)
Bagi saya, ada yang lucu dan janggal seputar hal ini.
Mobil
dinas pemerintah dibeli dengan uang pajak rakyat, begitu pula
bensinnya. Jadi terlepas akan diisi bensin bersubsidi atau Pertamax,
tetap saja uang rakyat yang terpakai. Sejak adanya keharusan ini, bisa
dipastikan, anggaran pembelian bensin bagi mobil dinas melonjak. Tapi
tetap rakyat yang gotong-royong mengongkosi.
Tetapi mengapa isi
spanduk itu justru berterimakasih kepada pengguna kendaraan dinas?
Apakah kepala proyek pengadaan spanduk itu lupa, mobil dinas (berikut
bensinnya) adalah fasilitas yang semuanya dibayari rakyat lewat pajak?
Seharusnya justru isi spanduk berterimakasih kepada rakyat yang membayari, dong.
Bila
pemerintah benar-benar ingin berhemat dan menahan laju penggunaan
bensin bersubsidi, banyak cara lain yang bisa diperlihatkan. Yang paling
sederhana: tidak menjadikan mobil di atas 1600 cc sebagai mobil dinas.
Ketika
melintas di tengah jalan macet pun, mobil dinas tidak perlu menggunakan
iring-iringan apalagi pengawalan polisi jalan raya. Mengapa ini
penting? Sebab mobil yang berjalan berombongan tentu lebih boros bensin
ketimbang yang sendirian.
Tanpa pengawalan polisi, para pemangku
amanah itu juga bisa mengerti dan merasakan langsung, bagaimana situasi
di jalan raya yang sesak itu. (Jika dikawal, tentu mereka bisa
melenggang terus di jalan.)
Di samping nilai penghematan yang tak
seberapa (Rp 542 miliar dibandingkan Rp 100 triliun), peraturan ini
juga membuang-buang uang pemerintah. Berapa besar biaya mencetak spanduk
untuk dipasang di tiap pom bensin (yang di Jakarta saja jumlahnya ada
5000)?
Lalu berapa rupiah ongkos pasang, dan “biaya manajemen”
rekanan pelaksana proyek? Belum lagi sosialisasi atau rapat koordinasi
antarlembaga negara saat membahas peraturan ini. Jangan lupa, negara
harus bayar ongkos walau sekadar rapat. Jadi, biaya yang keluar dari
lahirnya sebuah kebijakan, memang dua ronde: prakebijakan dan
pascakebijakan.
Alhasil, yang niatnya menghemat, pemerintah malah keluar duit.
Akibat
kebijakan ini, banyak pula pemerintah daerah meradang (karena anggaran
bensin mobil dinas mereka melonjak). Ini bisa berbahaya. Bukan tak
mungkin, alokasi anggaran kesehatan, pendidikan, dan lainnya,
sedikit-sedikit terkikis gara-gara anggaran bensin mobil dinas
bertambah. Mudah-mudahan tidak.
Nah, kalau kebijakannya tidak
menguntungkan secara materil, bahkan secara moril pun boleh dikata
minus, tidak ada yang bisa dicontoh oleh rakyat, kecuali kita disuguhi
dagelan dari sebuah “kebijakan seolah-olah”.
Herry Gunawan adalah mantan wartawan dan konsultan, kini sebagai penulis dan pendiri situs inspiratif: http://plasadana.com
Kamis, 12 Juli 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar