Kamis, 12 Juli 2012

Dagelan Penghematan Bensin

Sebuah spanduk besar berwarna merah tertempel di dinding tembok pom bensin di Pondok Indah, Jakarta. Isinya kira-kira seperti ini: “Terima kasih kepada pengguna kendaraan dinas pemerintah, karena telah mengisi bensin tanpa subsidi.”

Entah apa maksud spanduk ini. Untuk memberitahu masyarakat (bahwa kendaraan dinas harus pakai Pertamax) atau ada maksud lain? Sulit dipahami.

Spanduk merah di pom bensin sepertinya muncul setelah adanya Peraturan Menteri ESDM No 12/2012 tentang pengendalian penggunaan bensin. Peraturan itu mengharuskan kendaraan dinas, tak terkecuali milik perusahaan plat merah, untuk menggunakan bensin tanpa subsidi.

Peraturan ini sudah berlaku di wilayah Jakarta dan sekitarnya, dan pada 1 Agustus kelak akan diperluas ke seluruh daerah di Jawa-Bali. Dengan keharusan seperti ini, pemerintah seolah memberi contoh ke masyarakat untuk tidak lagi menggunakan bensin bersubsidi.

Dalam hitung-hitungan pemerintah, bila kendaraan dinas diharuskan memakai Pertamax, maka akan didapat penghematan sebesar Rp 542 miliar. (Penghematan yang sebenarnya tak seberapa, dibandingkan subsidi bensin per tahun yang melebihi Rp 100 triliun.)

Bagi saya, ada yang lucu dan janggal seputar hal ini.

Mobil dinas pemerintah dibeli dengan uang pajak rakyat, begitu pula bensinnya. Jadi terlepas akan diisi bensin bersubsidi atau Pertamax, tetap saja uang rakyat yang terpakai. Sejak adanya keharusan ini, bisa dipastikan, anggaran pembelian bensin bagi mobil dinas melonjak. Tapi tetap rakyat yang gotong-royong mengongkosi.

Tetapi mengapa isi spanduk itu justru berterimakasih kepada pengguna kendaraan dinas? Apakah kepala proyek pengadaan spanduk itu lupa, mobil dinas (berikut bensinnya) adalah fasilitas yang semuanya dibayari rakyat lewat pajak?

Seharusnya justru isi spanduk berterimakasih kepada rakyat yang membayari, dong.

Bila pemerintah benar-benar ingin berhemat dan menahan laju penggunaan bensin bersubsidi, banyak cara lain yang bisa diperlihatkan. Yang paling sederhana: tidak menjadikan mobil di atas 1600 cc sebagai mobil dinas.

Ketika melintas di tengah jalan macet pun, mobil dinas tidak perlu menggunakan iring-iringan apalagi pengawalan polisi jalan raya. Mengapa ini penting? Sebab mobil yang berjalan berombongan tentu lebih boros bensin ketimbang yang sendirian.

Tanpa pengawalan polisi, para pemangku amanah itu juga bisa mengerti dan merasakan langsung, bagaimana situasi di jalan raya yang sesak itu. (Jika dikawal, tentu mereka bisa melenggang terus di jalan.)

Di samping nilai penghematan yang tak seberapa (Rp 542 miliar dibandingkan Rp 100 triliun), peraturan ini juga membuang-buang uang pemerintah. Berapa besar biaya mencetak spanduk untuk dipasang di tiap pom bensin (yang di Jakarta saja jumlahnya ada 5000)?

Lalu berapa rupiah ongkos pasang, dan “biaya manajemen” rekanan pelaksana proyek? Belum lagi sosialisasi atau rapat koordinasi antarlembaga negara saat membahas peraturan ini. Jangan lupa, negara harus bayar ongkos walau sekadar rapat. Jadi, biaya yang keluar dari lahirnya sebuah kebijakan, memang dua ronde: prakebijakan dan pascakebijakan.

Alhasil, yang niatnya menghemat, pemerintah malah keluar duit.

Akibat kebijakan ini, banyak pula pemerintah daerah meradang (karena anggaran bensin mobil dinas mereka melonjak). Ini bisa berbahaya. Bukan tak mungkin, alokasi anggaran kesehatan, pendidikan, dan lainnya, sedikit-sedikit terkikis gara-gara anggaran bensin mobil dinas bertambah. Mudah-mudahan tidak.

Nah, kalau kebijakannya tidak menguntungkan secara materil, bahkan secara moril pun boleh dikata minus, tidak ada yang bisa dicontoh oleh rakyat, kecuali kita disuguhi dagelan dari sebuah “kebijakan seolah-olah”.

Herry Gunawan adalah mantan wartawan dan konsultan, kini sebagai penulis dan pendiri situs inspiratif: http://plasadana.com

Tidak ada komentar:

_comment with your facebook_